Pengacara Ahok Enggan Tanyai Saksi Ahli dari Muhammadiyah

Sidang lanjutan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Selasa, 21 Februari 2017
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA.co.id – Pakar agama Islam dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, termasuk saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang kesebelas perkara dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Gedung Kementerian Pertanian, hari ini. 

M Kece Dituntut 10 Tahun Penjara

Saksi ahli agama Islam yang pertama dihadirkan JPU adalah Miftahul Akhyar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketika bersaksi, Yunahar sempat ditanyakan jaksa soal apakah memilih pemimpin berdasarkan agama melanggar konstitusi? 

Yunahar pun menjelaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang berlandaskan hukum Alquran dan Hadis. "Hanya perlu mengambil dari Alquran dan Sunnah kemudian dijadikan konstitusi dan undang-undang," ujar Yunahar dalam persidangan, Selasa, 21 Februari 2017.

Marak Kasus Penistaan Agama di Pakistan, Perempuan Muda Divonis Mati

Yunahar menyertakan pemahaman PP Muhammadiyah, yang menyatakan kalau memilih pemimpin adalah hak dan kewajiban umat Islam. Kewajiban yaitu, memilih pemimpin itu sendiri. Sementara hak, seperti kriteria seorang pemimpin yang dipilih. 

"Menjadi hak dia untuk menentukan kriteria terbaik menurut dia. Apakah terbaik satu kampung, urusan dia, satu kampus urusan dia, satu etnis urusan dia, satu agama sepenuhnya urusan dia," ujar Yunahar.

Ferdinand Hutahaean Tulis Surat Permohonan Maaf dari Penjara

Ia menjelaskan bahwa apa yang dilarang menurut pemahaman PP Muhammadiyah yaitu, saat umat Islam meminta dibuatkan undang-undang yang melarang non muslim menjadi pemimpin. 

"Yang tidak dibolehkan apabila mereka, umat Islam, menuntut dibuatkan undang-undang tidak boleh non-muslim menjadi pemimpin. Itu baru melanggar ketentuan," Yunahar menjelaskan. 

Terakhir, Ketua PP Muhammadiyah yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengatakan, ketika seseorang memilih pemimpin berdasarkan agamanya, maka hal itu dapat memperkuat kesatuan negara. 

"Memilih berdasarkan agama tidak melanggar konstitusi dan memecah belah. Tapi secara langsung akan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia," tuturnya.

Sementara itu, tim penasihat hukum untuk terdakwa Ahok enggan bertanya kepada Yunahar. Alasan mereka, dia juga menjabat di Majelis Ulama Indonesia. 

Ahok berstatus sebagai terdakwa dalam perkara dugaan penistaan agama. Pernyataannya terkait Surat Al-Maidah Ayat 51 saat berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu membawanya ke meja hijau. JPU mendakwa Ahok dengan Pasal 156 a KUHP tentang penistaan agama dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun. (ren)


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya