Sabeni, Jagoan Maen Pukul dari Tenabang

Ali Sabeni, anak pendekar Betawi Sabeni
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dody Handoko
VIVA.co.id
Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol
- Sebutannya di Betawi adalah guru
maen pukulan
Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI
. Jago atau jagoan ini muncul pada akhir abad ke-19 sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda. Jago Betawi dilarang berjudi, merampok, memperkosa, minum-minuman keras atau perbuatan tercela lainnya.
Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

Sebagai identitas bahwa seseorang disebut jago terdapat pakaian atau busana khusus yang seringkali dikenakan. Pada zaman dahulu para jagoan Betawi biasa memakai celana panjang berwarna kuning atau krem, jas tutup berwarna putih, bersarung ujung serang, peci hitam atau destar, kaki berterompah, dan golok disisipkan di pinggang tertutup jas.

Sarung diselempangkan atau disampirkan di pundak untuk salat atau menangkis serangan musuh, ikat pinggang besar dari kulit, peci hitam, terompah dari kulit, dan golok disisipkan di luar pada ikat pinggang.


Sabeni adalah jagoan silat asal Betawi kelahiran Kuburan Lama, Tenabang (sebutan untuk Tanah Abang) yang lahir akhir abad ke-19 dan meninggal menjelang proklamasi kemerdekaan (1945).


Alwi Shahab, budayawan Betawi, menuliskan, pada saat penjajahan Jepang perang melawan Sekutu memerlukan pemuda-pemuda untuk dijadikan Heiho, semacam tenaga sukarelawan untuk membantu para prajurit Jepang. Salah satu putra Sabeni, bernama Sapi’i, yang masih belia seperti juga pemuda lainnya, diharuskan menjadi Heiho. Ia pun ditempatkan di Surabaya.


Karena tidak tahan menghadapi perlakuan tentara Dai Nippon, Sapi’i minggat dari Surabaya dan ngumpet di rumah orangtuanya. Tentu saja pihak Kempetai (Polisi Rahasia Jepang) tidak tinggal diam dan terus mencari keberadaannya. Karena Sapi’i tidak juga tertangkap, Kempetai menahan Sabeni sebagai jaminan.


Mengetahui Sabeni kesohor sebagai jago silat, Kempetai ingin mengujinya. Komandannya menantang Sabeni untuk diadu dengan anak buahnya, seorang serdadu jago karate. ”Kalau Sabeni menang, bebas dan boleh pulang,” kata sang komandan, tulis Bang Thabrani dalam buku
Ba-be.


Duel berlangsung di Markas Kempetai di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sabeni berhasil berkelit dari serangan-serangan ahli karate itu. Bahkan, ia kemudian berhasil merobohkan prajurit Jepang itu dengan ilmu pukulan kelabang nyebrang.


Hal ini dibenarkan oleh H. Ali Sabeni, putera Sabeni yang sebelum meninggal sempat diwawancarai di rumahnya di belakang TMII, Jakarta Timur. ”Saya waktu itu masih kecil ikut menonton pertarungan ayah dan serdadu Jepang. Saya heran dengan karateka Jepang itu, tiap mau pukul atau nendang kok teriak, jadi kesannya memberitahu dulu,” paparnya.


Sang komandan yang kecewa karena kekalahan anak buahnya, kemudian menghadapkan seorang jago sumo untuk menundukkan Sabeni. Sabeni siap menghadapinya.


Jago Sumo memasang kuda-kuda, kedua kakinya maju ke depan, berdiri ngangkang. Tangan ditaruh di atas paha segede paha kuda. Kemudian keluar dari mulutnya suara, ”Eeek …!” Sambil membentangkan tangannya.


Alwi menceritakan untuk menghadapi lawan dalam keadaan demikian, Sabeni loncat kodok, ke atas dengkul musuh yang lagi ngeden. Dengkul lawan dianggap talenan, dipakai buat salto ke atas.


Untuk kemudian menyambar ubun-ubun si jago sumo, yang langsung terjengkang, ngegeloso,
kagak
bisa berdiri lagi karena keberatan badan dan akibat pukulan jago silat Tenabang itu.


Bersambung ...

Kami akan mengulas kisah Pendekar Sabeni yang berbeda dengan yang lain dalam beberapa tulisan. Tulisan akan terbit setiap pagi. Nantikan tulisan-tulisan selanjutnya.

![vivamore="
Baca Juga
:"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya