Menguak Hukum Gantung dan Pancung di Kota Tua (2)

Eksekusinya mati di Stadhuisplein, kini Kota Tua
Sumber :
  • (Collectie Tropenmuseum)
VIVA.co.id
Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol
- Halaman Museum Sejarah Jakarta, atau yang dikenal juga sebagai Taman Fatahillah, menjadi tempat melaksanakan hukuman mati. Saat eksekusi, masyarakat beramai-ramai menonton peristiwa yang mengerikan karena merupakan hiburan kala itu.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Pada 29 Juli 1676 di tempat yang sama dilaksanakan hukuman terhadap empat orang pelaut karena membunuh orang Cina. Kemudian, hampir dalam waktu bersamaan enam budak belian dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya pada malam hari.
Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia


Seorang Mestizo, putra seorang ibu pribumi dan ayah berkulit putih, digantung hanya karena mencuri. Sementara delapan pelaut dicap dengan lambang VOC yang panas dan membara, karena disersi dan mencuri. Dua tentara Belanda digantung karena selama dua malam meninggalkan pos mereka.


Tercatat hukuman mati yang berbeda dan sadis menimpa Pieter Erberveld, dilaksanakan di luar tembok Batavia sebelah Selatan. Tepatnya di tempat yang sekarang bernama Kampung Pecah Kulit. Hukuman tersebut sangat sadis. Masing-masing tangan dan kaki Pieter serta pendukungnya diikat pada empat ekor kuda yang dipacu ke empat penjuru mata angin yang berlawanan hingga putus dan terpecah-pecah.


Pada abad ke-17 dam 18, homoseksualitas merupakan dosa paling berat. Dianggap ‘dosa terhadap Tuhan’, yang ditindak dengan hukuman mati. Perzinahan, apalagi perbuatan serong, juga mendapat hukuman berat. Ini dialami seorang wanita Belanda, istri seorang guru, dikalungi besi dan kemudian ditahan dalam penjara wanita selama 12 tahun karena beberapa kali melakukan perselingkuhan.


Oey Tambahsia, yang dijuluki playboy Betawi, pada abad ke-19 juga tewas di tiang gantungan. Dia tidak pernah puas terhadap wanita, selalu mengejar wanita tidak peduli anak dan istri orang. Padahal, ia masih remaja. Termasuk melakukan pembunuhan terhadap sejumlah wanita dan pesaing bisnisnya.


Sejarah mencatat, eksekusi hukuman gantung terakhir yang dilaksanakan di Stadhuisplein ini adalah terhadap seorang perampok bernama Tjoe Boen Tjiang, pada tahun 1896.


Van Maurik, yang berkunjung ke Batavia dan menyaksikan secara langsung eksekusi itu, menuliskan dalam jurnalnya Indrukken van een “Totok”, Indische Type en Schetsen bahwa pelaksanaan hukuman gantung atas Tjoe Boen Tjiang pada pukul 07.00 pagi. Hukuman mati itu  penuh sesak oleh masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari pribumi, Tionghoa, Arab, Eropa, hingga Peranakan.


Tjoe Boen Tjiang, pemuda Tionghoa bersosok tinggi dan tampan yang dikenal juga dengan nama Impeh ini, terbukti telah merampok dan membunuh dua orang perempuan dengan kejam. Namun anehnya, saat pelaksanaan eksekusi terhadap Tjoe Boen Tjiang ini, yang paling banyak datang menyaksikan justru adalah kaum wanita. Rupanya mereka bersimpati kepada para wanita korban kekejaman Tjoe Boen Tjiang.


![vivamore="
Baca Juga
:"][/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya