Kisah Budak Seks Batavia

Rosinna, budak Betawi yang dibakar hidup-hidup
Sumber :
  • jakarta.go.id

VIVA.co.id - Budayawan Betawi Alwi Shahab menulis, para budak yang dibawa masuk ke Batavia, biasanya dibawa berkeliling kepada pejabat pemerintah supaya bisa dipilih. Para budak tidak bekerja di perkebunan, kecuali di Tanjung Barat (sampai 1831).

Kebanyakan mereka bekerja sebagai pembantu di rumah-rumah, bahkan ada yang disewakan oleh para pemiliknya, termasuk untuk kepuasan seks. Karena itu, tidak jarang keluarga pegawai VOC yang miskin hidup dari sewa-menyewa budak.

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Seorang Belanda, Non Wurmb, pernah bercerita bahwa ia hanya mempunyai dua budak, satu untuk memegang payung baginya dan yang lain untuk mengurus rumah.

“Tidak sedikit di antara para budak itu yang oleh majikannya dijadikan pelacur, dan si majikan menikmati hidup mewah dari budaknya,” kata Alwi. (Baca juga: )

Jika pemilik budak akan menjual budaknya, ia membuat iklan mengenai kemampuan budaknya, seperti dapat mencukur, merajut kaos, menjahit, meramu tembakau, sifatnya jujur, dan setia. Seorang budak perempuan diiklankan dapat meniup seruling dan memainkan biola.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Selain berbagai keterampilan tersebut, di antara budak ada yang terampil sebagai koki, binatu, tukang separu, pembuat wig, tukang jam, penuang teh, kooimaaksters (membereskan tempat tidur), dan pembuat konde. Dengan keterampilannya, kadang seorang budak bisa menebus dirinya dan menjadi orang bebas.

Keadaan para budak sangat menyedihkan, karena mengalami berbagai penganiayaan. Hal ini menyebabkan mereka sering mengamuk, atau melarikan diri ke daerah Pacenongan. Apalagi, budak dari tawanan perang yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia, sikapnya masih selalu menantang dan tidak mau menyembah.

Karena di antara budak itu banyak yang dikawini oleh Belanda dan China, yang datang ke Indonesia tanpa istri, harga budak wanita dua sampai tiga kali lipat harga budak pria. Waktu itu, memelihara budak merupakan simbol status sosial seseorang. Semakin banyak memiliki budak, makin tinggi statusnya.

Para budak termasuk beruntung, bila ia dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, atau menjadi pengiring majikan –memayungi, atau membawa tempat sirih dan tempat perhiasan– yang mempertontonkan kekayaannya. Di antara para budak belian ini, ada yang khusus dipekerjakan sebagai grup orkes. Mereka menghibur si majikan, saat santap malam bersama keluarga, atau menjamu tamunya.

Perbudakan di zaman kolonial Belanda berkembang sejak Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut benteng Jayakarta pada tahun 1619. Ketika Kompeni bertambah jaya, pemilikan budak mencapai puncaknya antara lain, karena sistem perdagangan budak terorganisasikan dengan rapi. Perkembangan ini membuahkan “kultur” baru: pangkat dan kekayaan seorang pejabat VOC diukur dari jumlah budak yang dimilikinya. (asp)

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia
![vivamore=" Baca Juga
:"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya