Balada Bocah Keranjang di Jalan Ampera

Bocah keranjang
Sumber :
VIVAnews
Putri Anne Blak-blakan Belum Bisa Move On dari Arya Saloka?
- Seorang anak kecil usia balita tampak terjuntai kakinya di bagian depan sebuah sepeda di kala hujan melanda Jakarta Selatan. Kakinya menjulur keluar dari sebuah keranjang kecil yang berisi bantal, kasur tipis, pemutar radio, terpasang di depan setang sepeda. Tak aman memang, meski ada sebuah tali yang mengikat badan anak itu supaya tetap bertengger di atas sepeda.

Masa Penahanan Siskaeee Diperpanjang Polisi

Sementara itu, di bagian belakang sepeda, terdapat pula semacam kandang yang di atasnya terdapat sejumlah tumpukan barang. Kandang tersebut berisi anak ayam dan anak burung.
Pria Ini Belajar Mengemudi Bermodal Lihat Youtube, Hasilnya Mobil Hancur Tabrak Tembok


Jelas saja, setiap orang yang berpapasan jadi penasaran, ada yang bertanya pada laki-laki dewasa yang mengayuh sepeda itu. Rupanya pengayuh sepeda diketahui bernama Sapto Sunardo (48), sedangkan anak kecil di depan setang adalah anak bungsunya, Darmawan, yang baru berusia 2,5 tahun.


Sapto mengaku, selalu membawa anaknya itu, karena di rumah tak ada yang menemaninya. Sakit pun, Darmawan selalu ikut bersama ayahnya. Seperti halnya dia yang berjualan keliling di sekitar Jalan Ampera, istrinya juga berjualan dari rumah ke rumah. Sementara itu, empat anaknya yang lain sudah bersekolah, dua orang di SMK dan dua orang di SD.


Sudah lebih 20 tahun Sapto berjualan keliling. Tak jarang, setelah seharian berkeliling, Sapto tak membawa hasil apa pun. “Ya seperti itulah, kadang pulang hanya bawa Rp10 ribu, namun keseringan pulang dalam keadaan kosong. Yang sering bikin saya sedih,
nggak
punya uang, tapi anak minta jajan. Kadang saya hanya bisa menangis, sambil berdoa dalam hati. Mau mengutang, malu,” ucap pria berbadan kurus ini kepada
VIVAnews
, Jumat 17 Mei 2013.


Sapto mengaku sudah berulang kali mencari kerja, namun belum juga ada yang mau menerima. Hal itulah salah satu yang membuatnya tetap konsisten menjalani profesinya sebagai pedagang hewan keliling.

           

“Waktu itu sih pernah ada yang menawari saya kerja dengan gaji per bulan Rp1,2 juta, tapi kerjanya menjaga empat ekor anjing. Karena takut saya
nggak
berani ambil, saya takut anak saya digigit. Kan dia (Darmawan) sehari-hari sama saya, nanti kalau dia sampai kena gigit saya bingung. Kalau diminta jaga burung atau hewan ternak, mungkin langsung saya ambil,” tutur pria yang mengaku sempat mengenyam pendidikan di jurusan pertamanan, sebuah perguruan tinggi di Jakarta itu dengan senyumnya yang khas.


Jadilah, Sapto tiap hari mengayuh sepeda bersama anak bungsunya yang tidur di bagian depan. Belakangan, sejak selalu membawa anaknya, kerap orang datang membeli dagangannya, namun kemudian tak mengambil barangnya.


“Beberapa kali ada yang menanya berapa harga ayam, eh
nggak
tahunya setelah saya ambilkan ayamnya, dia bilang ayamnya taruh lagi saja. Uang ini buat jajan anak bapak saja. Kadang yang seperti itu membuat saya bingung. Ya, tapi biar bagaimana pun itu rezeki kami, patut kami syukuri,” ujarnya.


Sapto sekeluarga menetap di sebuah jalan di Ciganjur, Jagakarsa, mengontrak sebuah rumah petak berukuran 5 x 7 meter. Namun, kemiskinan keluarganya tak membuat Sapto patah arang menyekolahkan anak-anaknya. Sapto tak ingin anak-anaknya gagal mendapat gelar sarjana seperti dia dan istri yang putus kuliah di tengah jalan karena tak ada biaya.

           

“Saya tak ingin anak-anak seperti saya. Sampai kapan pun saya akan terus berjuang untuk masa depan mereka. Yang sulung sudah selesai UN. Saya berdoa semoga dia lulus dengan nilai baik dan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi,” kata Sapto dengan matanya yang berkaca-kaca. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya